Kamis, 30 Januari 2014

Harapan (Dalam eL)

Setelah aku menyatakan untuk berhenti mengharapkan dirimu, apakah kamu juga akan tetap mengajarkanku tentang memperjuangkan ketidakmungkinan harapan?

Aku tidak pernah berharap melangkah sejauh ini setelah semua harapan hidupku habis termakan dosa. Aku pikir, aku tidak akan lagi memiliki yang namanya 'harapan', hingga akhirnya jalan gelap itu menunjukan aku kepada cahaya yang pernah aku temui sebelumnya dan melewatkannya serta mempermainkannya.

Aku salah, aku berkhianat. Tidak pernah aku berpikir itu adalah cahaya hidayah yang akan mengajarkanku tentang sebuah 'harapan'.

Aku memang pernah mengharapkanmu dulu, tapi itu semua hanya lelucon agar mereka terhibur. Lihatlah sekarang, kini aku yang ditertawakan oleh lelucon itu karena sebuah dilema. Haruskah aku ikut tertawa?

Di-php-kan atau meng-php-kan diri sendiri? Aku seperti tidak layak untukmu, kamu merasa tak layak untuknya. Lantas untuk apa lagi harapan ini digenggam?

Hey dear, jika kamu membaca tulisan ini, ada pragmatik yang mungkin mengalahkan semantiknya. Jika cinta itu tersirat, maka tidak akan ada habisnya ungkapan yang tersurat. Aku pikir sudah cukup pragmatikku selama ini, hanya saja aku belum cukup bernyali untuk berfonemik, morfemku masih terlalu berantakan untuk menentukan jenis kata yang akan aku gunakan meski aku memiliki sintaksis yang sempurna untuk membuatmu lebih dari sekedar untuk menyatakan 'bingung'.

"Terkadang kita melakukan sesuatu tanpa ada alasan" tapi "Terkadang aku melakukan sesuatu tanpa dipikir". Yaa, tidak ada alasan untuk memikirkan bagaimana kedepannya, karena aku tidak pernah berpikir untuk sebuah alasan mengapa aku 'rela', 'tega', 'peduli', 'sabar', dan 'ikhlas' melakukannya.

Palace, 2014 Januari 26

Tidak ada komentar: