Minggu, 12 Januari 2014

Nyaman Atau Terbaik?




Malam sudah semakin pagi, pikiran masih saja terasa senja. Pergelutan yang masih membekas di dalam kepala. Perseteruan antara akal pikiran dan hati, seperti membenturkan kata ‘nyaman’ dan ‘terbaik’. Belum bisa diakhiri hingga detik ini, hampir dua pecan berlalu namun belum juga aku temukan dikedua belah pihak. Terkadang dapat penyelesaian terbaik, tapi hati tidak merasa nyaman. Menemukan jalan kenyamanan, tapi melepas kebaikan. 

Oh life…

Berangkat dari satu sisi lini, kini dua kosa kata itu seperti menjadi virus dan mulai mengembangbiakan permasalahnya keseluruh lini kehidupan. Semakin tidak tenang, tidur tidak pernah lelap, mimpi selalu gelap, kehidupan hanya seperti air tergenang. Kegelisahan akan waktu jauh lebih membuat cemas, dia seperti tidak merberikan dispensasi untuk keadaan yang memaksa pikiran dan hati bertindak, menelaah, dan mengakaji semua hal ini. Seakan-akan semuanya harus ditindak dengan cepat. Padahal ini menyangkut masa depan, masa yang mungkin akan banyak menghabiskan pasir di pesisir pantai.

Sepertinya bisa dikatakan buntu, tapi hati berkata tentang keimanan. Begitupun dengan akal, jika buntu ya buatlah jalan terusanya. Kepada siapa lagi? Ketika kata hati dan kata-Nya tidak lagi sepadu haruskah tetap dijalankan? Semua berkata itu adalah yang terbaik, namun nyamankah kita? Ada jalan yang nyaman namun itu bukan opsi yang terbaik, masih pantaskah dipilih? Berangkat dari pernyataan atau pertanyaan tersebut, seakan-akan menggambar ikhlas adalah pilihan. “Setia itu pilihan, kalo selingkuh  adalah kesempatan…”

Memang tidak banyak orang yang mengalami hal ini, mungkin hanya sebagian mereka yang benar-benar sadar saja dan sebagianya adalah mereka yang bisa dikatakan ‘Brain Overdoze’. Hidup itu harus punya rencana, kalo gak punya mendingan mati aja besok. Jadi jangan merasa freak dengan situasi seperti ini. Ingatkan, manusia yang bermasalah adalah manusia yang berkualitas. Tapi bagi mereka yang memilih untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti permainan game, kamu tidak akan stagnan berada di level tersebut. Ketika sudah menyelesaikan stage pertama maka akan naik ke stage kedua dan seterusnya dengan level yang semakin meningkat. Jadi terpikir “bisakah hidup ini tanpa ada masalah?” jawabanya adalah “BISA”. Simpel aja, masalah yang sebenarnya itu ada di dalam pikiran. Ketika kamu tidak pernah berpikir itu adalah sebuah masalah makan itu tidak akan menjadi masalah. Tapi ketika kamu berpikir itu adalah sebuah masalah yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, maka itu akan menjadi masalah.

Jadi kesimpulan gilanya adalah “Orang yang suka buat masalah dan dapat menyelesaikanya dengan baik juga maka dia bisa dikategorikan sebagai manusia yang berkualitas.” Tapi berapa banyak orang berpikir seperti itu, hidup diatas garis aman lebih laris dari pada yang keluar dari garis. Katanya sih hidup ini seperti sebuah belati, semakin ditempa semakin tajam. Tapi kalo ditempa terus-terusan ya lama-lama bisa hancur dan bahkan semakin rentan untuk patah.

Kembali lagi dengan kata nyaman, berapa banyak orang yang memilih hidup nyaman dari pada terbaik? Dua kosa kata ini benar-benar membelah kepala sampai dada saya. Menguak isinya dan keluar pertanyaan pertama dari sana “Siapa saya sebenarnya?”. Ketika mengejar kata terbaik semuanya saya lakukan berdasarakan atas kata-Nya, saya lepaskan segala idealis dan kenyamanan yang sudah saya bangun untuk menjadi yang terbaik dalam hidup saya. Lantas, nyamankah? Dengan diri yang baru saja hijrah, justru tersesat setelah itu. Api yang pernah menuntunku dia seperti padam setelah itu. Kemana lagi jalannya? Aku tidak merasa tersesat, hanya merasa jalan yang aku lalui semakin temaram. “Hey, where are you?”

Aku merasa baik saat itu, meski tidak nyaman. Siapa yang bisa nyaman ketika pemiliki jiwa muda yang bergairah dan enerjik tapi hidupmu adalah sebuah robot. No freedom, only rules side your bed. Saya benar-benar kehilangan siapa saya, jiwa seni yang selalu menyuarakan kebebasan tapi untuk hidupku sendiri saja tidak merdeka? Masih mau dibilang nyaman hidup dengan program yang seperti itu?

Berontaklah otak kanan, jiwa pangeran kembali berkumandang. Tidak sampai satu oktaf dan selesai menyelesaikan masalah nyaman atau terbaik pilihan baru datang untuk dipaksa memilih. Belum sempat hati sendiri memilih kata-Nya sudah memutuskan. Mana yang harus diikuti? Kata hati atau kata-Nya? Bagaimana ini bisa jadi ikhlas jika itu lahir dari sebuah keterpaksaan, haruskah sebuah kebaikan lahir dari sebuah keterpaksaan?

Tidak ingin bermaksud menentang yang Maha Kuasa, tapi bisakah aku benar-benar kembali merdeka. Mengibarkan bendera yang pernah dulu aku kibarkan, kejayaan, kemerdekaan dan kebebasan yang membuat setiap hidupku adalah harga mati untuk tidak disia-siakan sebelum aku disucikan di neraka dan menuju keabadian bahtera dalam surga. Andai kata hati bisa berjabat dengan kata-Nya, andai nyaman dan terbaik bukanlah sebuah pilihan, mungkin aku tidak akan lagi memikirkan ini.

Mungkin terlalu banyak kosa kata ‘tapi’, sehingga membuat semua masalah ini tidak berujung juga. Karena terlalu lama berpikir kebenaran dan tapi akhirnya dipilihkan juga. Sayangnya diberi bantuan pada kenyataannya bukan yang nyaman dihati, tapi itu adalah yang terbaik dan memang baik. Tidak bisakan setiap orang menjadi dirinya sendiri? Norma-norma yang mendangkalkan pandangan dan pikiran, semua berakhir pada ketersesatan. Satu jalan lurus menjadi pilihannya, dan surga selalu berada dibelakang neraka.

Pepatah tua mengatakan “Cinta pertama adalah cinta terindah, cinta terkahir adalah cinta terbaik.” Tapi kita lebih memilih cinta yang nyaman, dimanakah dia berada? Cinta pertama lahir berdasarkan hati, fitrah dalam kemanusiaan. Bisa jadi membuat kita nyaman, karena tanpa sadara itu keindahan yang mungkin sering membuat kita lupa dengan janji keindahan surga. Cinta terakhir seperti sebuah petaka, dikatakan terbaik karena pasti dihadapkan dengan pilihan. Sulit memang memilih yang terbaik, tapi memilih yang nyaman itu mudah, karena bisa dirasakan secara langsung dan dapat terlihat. Mana yang akan kamu pilih?

Berangkat dari kesadaran ini ini sodara-sodara, saya tersadar. Ketika dihadapakan sebuah pilihan hati mungkin yang Maha Cinta lebih paham. Saya berdoa untuk tidak mencinta, tapi setelah itu saya berdoa kembali apakah saya masih bisa mencinta? Kata-Nya menuntun saya untuk mencintai yang terbaik, saya rombak segala lini kehidupan untuk hidup yang lebih baik. Tapi yang terjadi saya mulai merasa tidak nyaman, karena ini bukan saya yang sebenarnya. Saya melupakan kenyamanan, yang pada umumnya orang-orang utamakan.

Nyaman dan terbaik seperti dua tabung yang harus saya isi bersamaan, seandainya kedua hal ini berada di satu tabung, pasti tidak ada lagi keraguan. Agama bilang, segala yang ragu-ragu itu sebaiknya ditinggalkan saja. Ketika saya harus meninggalakan segala keragu-raguan dalam hidup ini, berarti saya harus meninggalkan segala mimpi dikehidupan ini. Perencanaan dan perencanaan semuanya hilang, ya sudah jika tidak ingin berencana sebaiknya mati saja besok. Bukankah tentang surga dan neraka adalah kepastian? No, aku masih ingin hidup.

So, saya juga bingung apakah ini sebuah tulisan sastra atau sebuah curahan hati. Tidak tahu apakah ini menghasilkan sebuah komersil atau tidak, kadang saya menulis untuk sebuah pesan-pesan yang tersirat agar mereka paham. Terlalu banyak pragmatic memang, tapi terimakasih sudah membacanya. Saya publikasikan bukan untuk mendikte atau mengajarkan, tapi untuk memikirkan. “kita adalah legenda dalam kehidupan kita sendiri. Arahkan senapanmu kearah cermin kamu berdiri, disanalah musuh terbesar yang harus kamu kalahkan.”


2 komentar:

Unknown mengatakan...

kayaknya ga ada yang ga keren dari tulisan-tulisan nya yaa

hidup memang selalu dalam pilihan

seperti yg anda utarakan, pilihan antara nyaman dan terbaik

tapi sejauh hal yang selama beberapa bulan ini anda lakukan adalah baik, tak ada yang salah, hanya mungkin terlalu cepat, sehingga anda belum bisa merasakan betapa indahnya proses

Syarif punkawijaya mengatakan...

makasih :)
yaa pilihan, pilihan yang sejati tidak pantas untuk dipilih dan akhirnya dipilihkan sebelum memilih...
maybe tidak ada yang salah, tapi siapa yang bilang itu tidak salah?
masih dikatakan benar ketika kamu menafikan siapa kamu sendiri, bahkan sampai kamu tidak lagi mengenal siapa dirimu?

sejatinya tidak ada yang lebih nikmat dari pada proses, karena ketika proses ada hal yang dituju, setelah yang dituju selesai lantas apa yang akan dilakukan?