Rabu, 19 Maret 2014

Aku dan Mahasiswa Pecinta Pasir dan Pantai (MP3)


Hidup ini kayak sinetron, ketika datang pemain baru masuk dalam cerita kehidupan, maka itu berarti akan ada pemain lama yang harus pergi. Tidak berarti mengusir, tapi ini adalah hukum alam. Kita tidak akan pernah memiliki apa yang sebenarnya kita ingin miliki, tak ada yang abadi. Kehidupan dunia ini terlalu luas, bahkan kapasitas otak di tiap-tiap kepala manusia tidak akan pernah bisa menampungnya, bahkan seorang ilmuwan sekalipun. Oleh karena itu lahirlah yang namanya catatan, kata-kata yang merangkai menjadi sebuah kalimat agar semuanya tidak lenyap oleh waktu. Tulisan ini adalah kerisauan hati dan pikiran, kebencian terhadap waktu, kefanaan sebuah tabir dibalik sebuah takdir, dan sebuah imajinasi yang menjadi kenyataan. “Mungkin raga kita bisa berpisah tapi jiwa akan selalu memelukmu”

Berangkat dari sebuah kisah di sudut kampus megah, andil saksi bisu dalam peristiwa reformasi negri ini. Kita bertemu dalam ruang kisah dewasa. Ketika akal dan hati saling bekerja sama untuk saling mengertikan dan menyatukan antara satu dengan lainnya, disanalah lahir sebuah pertemanan, persahabatan, dan kekeluargaan yang merangkul satu dengan yang lainnya. Kesan pertemuan pertama yang menyenangkan, melanjutkan cerita yang tidak sengaja telah melahirkan keterikatan batin. Menyatu dalam raga, mengalir dalam darah, menari-nari dalam pikiran, dan merangkul dalam air mata. “Bagaimanapun kalian, ya itulah diri kalian. Kalian yang telah menjadi sahabatku, candu dalam hari-hariku, pemecah kesepian hidupku dan pelengkap dari semua karyaku”

Tawa lepas pantai, jatuh menjatuhkan, ego diatas 80Km/Jam, duka yang bersembunyi dibalik suka, kesedihan bertudung bahagia dan angan tertiup angin jalanan seakan sudah terlalui. Aku pikir ini belum pantas berakhir bahkan tidak akan pernah berakhir. Aku terikat, bagaimana memupuskan mimpi yang sudah aku bangun dengan kalian? Aku pikir ini akan menjadi cerita dibalik dunia kampus yang sebatas kuliah dan berorganisasi, kegiatan-kegiatan yang legal. Sisi kehidupan yang akan aku bawa sampai kelak kita menambahkan gelar sarjana di belakang nama masing-masing, dengan gelar yang sama,wisuda bersama, berfoto dengan kostum toga bersama, saling memberikan bunga dan pada akhirnya kita akan melakukan CPNS bersama menuju pulau sebrang, seperti janji sumpah yang pernah dibuat (Sumpah 28 Oktober 2013). “Dalam tawa aku sembunyikan kegelisahan hati, aku tahan air mata, aku simpan semuanya. Tapi ternyata aku bocor malam ini...”

Aku pikir hanya maut yang berhak yang akan memisahkan dan mengakhiri cerita ini. Beberapa tawaran takdir kehidupan lain aku coba singkirkan, aku menolaknya dengan lugas, karena aku adalah takdir hidupku, aku adalah pembuka tabir hidupku dan kalian adalah pendamping yang akan menjadi saksi jiwa muda yang tak terkalahkan meskipun laju kendaraan kita diberhentikan oleh Polantas Semarang. Kita seperti pertemanan yang tidak terkalahkan, siapa yang berani menyenggol cerita kita. Kecuali suara-suara suar yang iri dengan kebersamaan kita yang teramat harmonis meskipun itu kurang logis dan sering terlihat egois. “Sahabatku tersenyumlah, bawalah aku kembali terbang, namun jangan lepaskan tali persahabatan kita agar aku tahu kemana jalanku pulang”

Konyol, mungkin aku terlalu overdosis dalam cerita bersama kalian. Bahkan aku pernah berpikir kelak kita akan melakukan resepsi pernikahan bersama. Mempertemukan ksatria-ksatria junior kita, mengenalkannya pada indahnya perjalanan dengan pelabuhan sebuah pantai, pantai yang terik, berpasir kadang berbatu, bibir pantai yang berkarang, kecupan mesra sang ombak, asinnya air laut dan kesegalaan dari sebuah ‘Sunset’.




Kita dan Pantai



Kita dan pantai, tempat kita melepaskan penat dari daratan.

Kita dan pantai, disini asin, berpasir dan berbatu.

Terkadang keras dihantam ombak dan tersurut hanyut dalam perut lautan.



Di pantai kita melihat ombak, dia menari-nari seperti stripis malam.

Di pantai kita mendengar ombak, dia bernyanyi-nyanyi menghantam kepenatan.

Di pantai kita menyentuh pasir, dia bergerilya bebas dalam tubuh kita.

Di pantai kita mencumbu lautan, biru dan tetap asin rasanya.



Di pantai, di pantai dan di pantai selalu menjadi tempat pelabuhan kita lelah melangkah.

Palace, 25 Febuari 2014.



Tidak ada komentar: