Selasa, 03 September 2013

Doa dan Belati

Ketika hidup menjadi buntu, seribu jalan bercabang menjadi benalu yang berusaha menarik-narik lengan untuk dipilih. Semua berkata mereka adalah petunjuk, tapi jalan kebenaran tak pernah menarik-narik untuk dilalui.
Mereka (kebenaran) hanya memberi (secara tidak langsung) paksaan untuk dipilih, seperti tidak ada lagi pilihan yang lebih aman.keterlikuan kehidupan menjadi satu ruang kosong yang hampa. Sungai pun berakhir dengan lautan yang luas, memang tak berujung. Apakah itu yang dikatakan ‘kebebasan’ ?

Hidup hanya sekali, kedua kali berarti beruntung atau bisa jadi petaka karena tidak sempat memberi titik pada akhir cerita kehidupan. Kematian menjadi hal yang riskan, tidak dipikirkan tapi datang tanpa diundang dan pergi tanpa teringat lagi hingga lupa jika kematian selalu berdiri dibalik bayangan kita sendiri. Menakutkan? Bisa jadi itu pilihan yang paling baik. Ketika hidup tidak lagi memiliki gairah, asa pun terkubur untuk menikmati tiap nafas yang diberikan Cuma-Cuma oleh sang Pencipta.

Terjatuh, terpuruk dan tenggelam. Liku-liku dan warna-warni kehidupan yang tak pernah diduga. Kuasa Tuhan lebih kuasa atas kehendak dan keingananya. Singkatnya Tuhan hanya mengingkan makhluknya hidup damai dan baik, tapi Tuhan juga menciptakan ancaman-ancaman yang menakutkan. Mengurung. Terkurung dengan stagnasi, berlebih dibenci, kurang melawan hakikat kemanusian (puas). Kehidupan kedua yang dijanjikan seakan kata damai itu hilang jika kehidupan kedua jauh lebih baik. Mati, pilihan terbaik untuk kehidupan yang lebih baik.

Dimana? Dimana? Dimana?

Entah dimana lagi. Dunia ini seakan perjalan yang busuk. Tak mampu membuat pilihan sendiri, kesenangan atas kesengsaraan yang tertunda menundukan kesadaran jika hidup ini hanyalah sebuah sandiwara yang harus dilakukan dengan akting yang menipu pemirsa. Tak lucu mereka memaksa tertawa, bahagia mereka memaksa menangis. Manusia bisa apa? Usaha apa lagi yang bisa diharapkan jika kita hidup dengan bangunan pasir. ‘fuhhh’ (baca: tiup) berhamburan segalanya. Impian setinggi gedung pencakar langit pun rubuh seketika.

“Bawalah kembali aku pada kegelapan, sehingga aku tak mengerti lagi apa makna kehidupan ini. Ketersesatan tanpa mengerti arah jauh lebih mudah aku nikmati. Menjadi kerbau cucuk lebih baik janjinya dibanding menjadi pemilik kerbau yang lebih mengerti tentang kebenaran dan kenafikan kehidupan. Musnahkan kemapuan berpikir ini, jika kemampuan ini justru membuat aku tak bisa nyaman untuk tetap hidup. Menjadi bodoh dan hanya pandai memalukan diri sendiri lebih baik, membuat yang melihatnya senang dan aku pun tak mengerti apa yang membuat mereka tertawa dan aku ternyata pandai.”

Sesal. Kepada siapa lagi keluhan ini ditangguhkan? Siapa yang akan bertanggung jawab atas harapan dan mimpi yang sudah dibangun kemudian hancur seketika? Kesengan yang sempat dirasakan justru kini menghantarkan kepada ke ketidaknyamanan hidup. Jauh lebih dari itu, untuk apa lagi hidup jika semangat itu sudah padam. Harapan yang tergantung laso, terbujur kaku bahkan tak mampu menolong dirinya sendiri.

Masa depan yang busuk, selalu berujuk dengan keterpurukan. Buntu, tidak lagi bisa dipahami apa lagi yang harus dilakukan. Sudah dikatakan ini perjalan buntu. Kebebasan tentang hulu hanya akan menjadi cerita dongeng-dongeng. Musnahlah hak merdeka.

Bad luck.

Brainoverdoze benar-benar telah mengatarkan diri kepada kegilaan yang sejengkal lagi akan menyatu. Sulit sekali kini membadakan antara kebenaran dan khayalan. Keduanya beradu dan saling membenturkan keyakinan yang dijilatinya. Terlahirkan jiwa kedua, jiwa yang seakan-akan menjadi malaikat namun berparas iblis. Dusta, dusta dan dusta. Siapa lagi yang dapat dipercaya, jika diri sendiri sudah mengalami kepunahan kepercayaan diri.



Doa dan Belati. 

Beberapa orang percaya akan dadu yang dikocok. 

Melahirkan angka-angka yang dengan singkat merubah takdir. 

Tapi aku tetap bergelut dengan pekerjaan yang tidak cocok. 

Berharap kelak kedamain dan kebahagiaan itu hadir. 



Kehidupan yang sulit membuat naluri mati bermimpi. 

Dibawah atap ruang yang mengurung sepi. 

Hasrat untuk menyerah dan berusaha tidak lagi berapi-api. 

Semua, lagi diadili dengan kata belati. 



Apa yang salah dengan doa seorang pria sejati. 

Kini tersesat dengan doa yang pernah diujarkan. 

Doa yang telah membunuh semua cahaya harapan. 

Pilihan terakhir, menghujam doa itu dengan belati. 


Surakarta, 19 Agustus 2013.

Tidak ada komentar: